Skip to main content

Peninggalan Sejarah Tulungagung Sebagai Inspirasi Kebudayaan

Telah kita ketahui bahwa Tulungagung hidup bersama dengan kerajaan Medang Mataram, Medang Jawa timur, Panjalu, Janggala, Singasari, dan Majapahit. Selama kurun itu, banyak peninggalan sejarah, terutama bangunan candi-candi beserta pernak-perniknya, tersebar di sepenjuru Tulungagung. beberapa masih dapat kita saksikan sekarang, seperti candi Penampihan, candi Dadi, candi Mirigambar, candi Sanggrahan, candi Gayatri, goa Pasir, Goa Selomangleng, dan masih banyak lagi. Meski tidak sebesar Borobudur atau Prambanan, atau keraton Yogyakarta, setidaknya sejarah panjang Tulungagung belum sepenuhnya tenggelam. 

Ayu Sutarto telah memetakan Jawa timur menjadi sepuluh subkultur, yaitu Jawa Mataraman, Jawa Panaragan, Samin atau sedulur sikep, Tengger, Osing, Pendulungan, Madura Pulau, Madura bawean, Madura Kangean, dan budaya Arek. Tulungagung termasuk dalam subkultur Jawa Mataraman. Budaya Mataraman secara verbal tampil di masyarakat Pacitan, Ponorogo, Madiun, Magetan, Ngawi, Nganjuk, Trenggalek, Tulungagung, sebagian Kediri, dan Blitar. Rata-rata masyarakat ini menganut agama Islam yang dipadukan dengan tradisi Jawa. Namun secara umum, budaya Jawa Mataraman menyebar luas di sepenjuru Jawa timur, boleh dibilang mendominasi cara pandang dan tata nilai masyarakatnya.
 
Bentuk seni masyarakat yang berbudaya Mataraman tidak jauh beda dengan hasil kesenian yang ada di tanah asalnya, Yogyakarta dan Surakarta, semisal ketoprak, wayang, tari-tarian bedaya, maupun sastra seperti serat dan babad yang sangat mengagungkan tradisi Jawa-Islam. Meski demikian memang terdapat beberapa perbedaan mendasar antara bentuk seni budaya Mataraman di Jawatimur dengan di Yogyakarta atau Surakarta. Ini terjadi lantaran posisi Yogyakarta dan Surakarta sebagai pusat kerajaan, sementara Jawatimur termasuk Tulungagung, sebagai daerah pinggiran, jauh dari keraton. Semisal wayang Yogyakarta dan Surakarta dikenal menggunakan bahasa lebih halus ketimbang wayang Jawatimuran atau Tulungagungan. Prosesi ritual larung sesaji di Tulungagung atau di pantai Popoh, juga beda dengan yang dilakukan di Parangtritis, Yogyakarta.



Bahkan ada pula bentuk-bentuk kesenian khas, muncul di wilayah Mataraman Jawatimur, tetapi tidak ada di Yogyakarta atau keraton. Tulungagung memiliki bentuk kesenian khas ini, yaitu jaranan kendang dan reog kendang Tulungagung. Begitu juga tradisi cerita Panji yang berkembang di Jawatimur, termasuk Tulungagung, tidak tumbuh di Yogyakarta atau Surakarta. Itu karena cerita Panji terinspirasi sejarah kerajaan Panjalu dan Jenggala, dua kerajaan yang lebih dulu lahir ketimbang Mataram Islam.


Yang menarik, Ponorogo. Meski tergolong berbudaya Mataraman, tetapi masyarakatnya lebih menyukai reog, ketimbang ketoprak dan tayub, beda dengan daerah mataraman lain, seperti Tulungagung yang, selain memiliki kesenian khas reog kendang, juga masih dekat dengan ketoprak, tayub, atau wayang. Pola masyarakat Ponorogo memang mirip dengan masyarakat yang berbudaya Mataraman, akan tetapi memiliki ciri khas tertentu yang tidak dimiliki kawan-kawannya.


Salah satu ciri khas seni budaya Ponorogo adalah kesenian reog Ponorogo. Kesenian ini terinspirasi cerita legenda sejarah tokoh Demang Ki Ageng Kutu Suryangalam yang ingin menyindir raja Majapahit Brawijaya V, yang pada waktu itu dianggap melalaikan kewajiban sebagai raja, terlalu dikendalikan permaisurinya yang menganut Islam. Kemudian sang demang membuat barongan dari kulit macan gembong yang ditunggangi burung merak. Sang prabhu dilambangkan sebagai macan, dan permaisurinya sebagai merak. Tampilnya kesenian reog Ponorogo membuktikan bahwa peristiwa sejarah dapat menginspirasi seni dan budaya, membangkitkan daya cipta masyarakatnya.


Begitu pula dengan Tulungagung. Beberapa peristiwa sejarah menginspirasi daya cipta masyarakatnya, memunculkan kesenian seperti reog kendang dan jaranan kendang Tulungagung. Reog kendang Tulungagung sekarang sudah mendapat hak paten, sudah menjadi milik Tulungagung, sehingga Malaysia tidak mungkin mengklaimnya, sebagaimana dulu dialami reog Ponorogo.


Reog kendang Tulungagung mengambil inspirasi dari peristiwa yang diyakini sebagai sejarah, yaitu ketika Dewi Kilisuci, putri sulung Erlangga disunting seorang raja dari Makasar. Sementara tari Jaranan terinspirasi peristiwa ketika putri sulung Rajapatni, Dyah Gitarja atau Tribhuwanatunggadewi, menyingkir ke daerah Sendang atau gunung Wilis.


Sekali lagi sejarah mampu menginspirasi seni dan budaya. Tapi tidak cuma berbakat menjadi kesenian pertunjukan. Pernak-pernik peninggalan sejarah di Tulungagung baik cerita sejarah, cerita legenda sejarah, maupun candi dan relief hiasannya, dapat pula menjadi bahan inspirasi dunia industri kreatif, seperti penerbitan buku dam percetakan, desain sandang maupun grafis, arsitektur, filem, musik, kerajinan, maupun permainan interaktif. Tinggal bagaimana mengolah dan mengemasnya. Ekonomi kreatif adalah perkara bagaimana mengolah dan mengemas sesuatu menjadi bernilai jual tinggi. Dan sekali lagi Tulungagung memiliki keberagaman budaya, keberagaman daya cipta. Harus cerdas dan kreatif mengelolanya. Jangan sampai warisan sejarah budaya luhung Tulungagung tenggelam tanpa jejak, menjadi romantisme masalampau yang tidak membawa manfaat dalam perjuangan menarungi peradaban abad digital, sekarang dan mendatang.


Sumber : http://www.tulungagung.go.id

Comments

Popular Post

Prabu Aji Saka

Tersebutlah seorang pemuda sakti yang tinggal di desa Medang Kawit. Aji Saka namanya. Ia mempunyai dua pembantu yang sangat setia. Dora dan Sembada nama keduanya. Suatu hari Aji Saka berniat ke wilayah Medang Kamulan. Ia mendengar perilaku Raja Medang Kamulan yang bernama Prabu Dewata Cengkar yang sangat jahat. Prabu Dewata Cengkar gemar memangsa manusia. Setiap hari ia harus makan daging manusia. Patih Medang Kamulan yang bernama Jugul Muda harus sibuk mencari manusia untuk dipersembahkan kepada rajanya yang sangat kejam itu. Rakyat Medang Kamulan sangat ketakutan dan mereka memilih untuk mengungsi dari Medang Kamulan dibandingkan harus menjadi santapan Prabu Dewata Cengkar. Aji Saka berniat menghentikan kekejaman penguasa kerajaan Medang Kamulan yang gemar memakan manusia itu untuk selama-Iamanya. Dalam perjalanan menuju kerajaan Medang Kamulan, Aji Saka dan dua pembantunya tiba di daerah pegunungan Kendeng. Aji Saka meminta Sembada untuk tinggal di daerah itu dan menyerahkan k...

Orang Jawa di Suriname

  foto dari wikipedia Ada kisah menarik mengenai agama dan tradisi yang bisa kita pelajari di Suriname (Amerika Selatan). Negara bekas jajahan Belanda ini pada abad 19 dan 20 pernah mendatangkan kuli kontrak dari berbagai negara diantaranya dari Jawa, India, Cina dan Timur Tengah. Kurang lebih 33,000 orang Jawa Tengah dan Timur diangkut ke Suriname pada tahun 1890 - 1939 dengan janji manis bahwa mereka bisa menjadi kaya sepulangnya dari sana, padahal kenyataannya mereka menjadi kuli kontrak selama lima tahun di perkebunan tebu dan coklat. Setelah selesai masa kontrak orang-orang Jawa ini terlalu malu dan miskin untuk pulang dan akhirnya menetap disana dan saling menikah.

Ramalan Jayabaya yang Terbukti

Dalam perjalanan sejarah nusantara, nama Kediri tak bisa dipisahkan dari tokoh yang sangat terkenal dan melegenda, yakni Prabu Jayabaya yang bergelar Sri Maharaja Sri Warmmeswara Madhusudana Wataranindita Parakrama Digjayottunggadewanama Jayabhayalancana. Jayabaya adalah tokoh yang melahirkan kitab ramalan yang hingga kini masih dianggap memiliki 'tuah' dan dipercaya masih berlaku, yakni Jangka Jayabaya. Salah satu ramalan Jayabaya yang paling kesohor adalah soal para pemimpin negeri ini. Ramalan Jayabaya menyebut bahwa pemimpin Indonesia yang berarti presiden adalah No-To-No-Go-Ro.