Pada saat Sri Girindra tersingkir dari istana, Ken Arok berusia sekitar 12 tahun. Setelah dewasa, mengetahui sejarah Jenggala, mengetahui ayahnya tersingkir dari istana akibat serbuan Senapati Agung Tunggul Ametung. Setelah bertemu Pendeta Lohgawe, ia bertekad membalas kekalahan ayahnya.
________________
Pada sarasehan budaya awal tahun di gedung pramuka, Ki Dalang Sodrun keheranan pada Tulungagung. Ada apa sejatinya dengan tanah ini? Mengapa pada masa lalu banyak tokoh besar mengakhiri hidupnya menyingkir ke Banarawa? Mengapa Gayatri, Jaka Tingkir, Pangeran Benawa, disemayamkan di brang kidul? Dalang Wali asli Blitar itu meyakini ada apa-apanya dengan Tulungagung.
Saya juga meyakini Tulungagung ada apa-apanya, pernah selama beberapa kurun, berperan besar dalam perjalanan sejarah nusantara masa silam. Keyakinan saya bertambah tebal ketika menemukan fakta bahwa Tulungagung termasuk satu-satunya wilayah di luar pusat keraton, yang memiliki daerah perdikan terbanyak. Itu karena Tulungagung banyak memberikan pertolongan agung pada para raja. Selain Rajapatni Gayatri, Tulungagung juga menjadi tempat pendarmaan beberapa tokoh Singasari dan Majapahit lainnya, seperti Tunggul Ametung, Mahisa Wonga Teleng, Mapanji Tohjaya, Raden Wijaya, Baginda Kertawardhana, dan Sri Wikramawardhana.
Tapi selama ini, sangat sedikit sumber referensi sejarah, sangat sedikit buku kajian sejarah, utamanya terkait Tulungagung, yang cukup secara memuaskan, menjawab segala keheranan kita. Sementara sejauh ini, peristiwa-peristiwa sejarah di Tulungagung menginspirasi perkembangan kesenian rakyat Mataraman, seperti ketoprak, reog Kendang, dan tari Jaranan. Sementara sesungguhnya Tulungagung berbakat menjadi pusat budaya, utamanya di Jawatimur. Bukankah penemuan fosil Wajakensis menandakan bahwa Tulungagung pernah menjadi pancer kebudayaan kuna Nusantara?.
Pada kesempatan ini, kita akan mencoba kuak sejarah Tulungagung, sebatas sejauh yang tercantum dalam sumber tertulis atau prasasti. Pada masalalu, yang dinamakan wilayah brangkidul —sekarang Tulungagung— adalah daerah di selatan sungai Brantas, mulai alas Lodaya di timur, berbatasan langsung dengan Turen atau Turyantapada, memanjang ke barat sampai gunung Wilis dan pegunungan Trenggalek, termasuk Kampak dan Karangan —sampai tahun 1950M, Karangan dan Kampak masuk Tulungagung. Karena itu, ketika kaji sejarah Tulungagung, bakal bersinggungan dengan sejarah Blitar dan Trenggalek. Sejarah Tulungagung, terutama juga bersinggungan dengan sejarah Kediri. Bagaimanapun, Tulungagung memiliki ikatan lahir batin yang sangat erat dengan tiga tetangganya itu.
Tulungagung pada masa Medang I Bhumi Mataram
DYAH BALITUNG adalah raja Medang Mataram yang pertama kali meluaskan kekuasaannya ke Jawatimur bahkan Bali. Ketika itu di Jawatimur berdiri kerajaan Kanjuruhan, berpusat di timur gunung Kawi atau daerah Malang. Untuk meluaskan kekuasaannya, sudah barang tentu Dyah Balitung harus menaklukkan Kanjuruhan lebih dulu. Dan itu yang kemudian dilakukannya. Tetapi pada penyerbuan pertama, pasukan Dyah Balitung mendapat perlawanan sengit, terpukul mundur jauh ke barat, sampai akhirnya berkubu di gunung Wilis, persisnya di daerah Penampihan. Sampai kemudian atas bantuan besar atau pertolongan agung para tokoh dan penduduk Penampihan atau daerah Kubu-Kubu, Dyah Balitung berhasil menaklukkan Kanjuruhan.
Beberapa waktu kemudian, Dyah Balitung mengeluarkan prasasti kerajaan berisi anugerah sima perdikan kepada daerah Kubu-Kubu. Prasasti ini kelak dinamakan prasasti Penampihan pertama. Inilah saat dimana Tulungagung mulai berperan besar dalam sejarah kerajaan di tanah Jawa. Peran Tulungagung berlanjut setelah Medang Mataram runtuh dan pindah ke Jawatimur.
Tulungagung pada masa Medang Jawatimur
TATKALA Raja Wawa bertahta di Medang Mataram, berderap kekuatan wangsa Saelendra dari Swarnadwipa menghantam Medang Mataram. Kekuatan Boddha berhasil menaklukkan kemaharajaan Siwa di Medang bhumi Mataram. Itulah akhir riwayat kekuasaan kerajaan Siwa di bhumi Mataram. Kerajaan ini hancur bukan lantaran bencana letusan gunung Merapi —sebagaimana teori Van Bommel yang juga dianut banyak sejarawan.
Mahamentri Hino Mpu Sindok berhasil lolos dari gulungan wangsa Saelendra. Putra mahkota Raja Wawa itu kemudian mendirikan kerajaan di Jawatimur yang berhaluan Boddha, bukan Siwa, membangun keraton baru di Tamwlang, lalu pindah ke Watugaluh, Jawatimur —Tamwlang sekarang bernama Tembelang, sementara Watugaluh menjadi Megaluh, keduanya di Jombang. Mpu Sindok menyebut kerajaannya sebagai penerus Medang bhumi Mataram yang berkeraton di Watugaluh. “Kita prasiddha mangraksa kadatwan rahyangta i bhumi Mataram ing watu galuh”. Meski memproklamasikan sebagai penerus Medang Mataram, Mpu Sindok memutus hubungan darah dengan wangsa Sanjaya, membangun wangsa baru bernama Isanawangsa.
Mendengar Medang Mataram berlanjut di Jawatimur, Sriwijaya tidak tinggal diam. Meski Mpu Sindok penganut Boddha, bukan halangan bagi wangsa Selendra menderapkan pasukannya dari Mataram menuju Jawatimur. Maka pada 929M, dua kekuatan besar bertemu di Anjukladang. Tetapi pasukan Mpu Sindok berhasil memukul mundur pasukan keturunan Balaputradewa itu.
Kemenangan Mpu Sindok atas Sriwijaya juga berkat sokongan kekuatan dari Kampak. Mpu Sindok kemudian mengeluarkan prasasti yang berisi anugerah sima perdikan kepada daerah Kampak —ini hampir bersamaan dengan dikeluarkannya Prasasti Anjukladang yang kelak menjadi landasan hari jadi kabupaten Nganjuk. Sebelum menjadi bagian Trenggalek, daerah Kampak masuk Tulungagung. Dapat dikatakan pula bahwa pada awal pemerintahan Mpu Sindok, Tulungagung kembali tampil dalam pentas sejarah, kembali memberikan pertolongan agung pada seorang raja.
Pada masa Sri Dharmawangsa, kekuatan wangsa Isana giat menggempur Jawatengah sampai akhirnya wangsa Selendra kembali ke tanah moyangnya di Sumatera. Sayang, kerajaan Medang adalah kerajaan agraris, bukan maritim seperti Sriwijaya yang pada waktu itu diakui dunia sebagai kerajaan maritim tertangguh di asia tenggara. Dengan bantuan sekutunya, Aji Wura-Wari dari Lwaram, Sriwijaya berhasil menghancurkan Dharmawangsa.
Prasasti Pucangan yang dikeluarkan Erlangga pada 1041M menulis: “…rikalaning pralaya ring yawadwipa i rikang sakalala 928 ri prahara haji Wurawari maso mijil sangke Lwaram, ekarnawa rupanikang sayawadwipa rikangkala. Tatkala terjadi pralaya di pulau Jawa pada 928 saka, akibat prahara Raja Wurawari yang muncul dari Lwaram, pulau Jawa pada waktu itu seperti hamparan lautan —rata.”
Pada waktu itu berlangsung pesta merayakan penikahan Erlangga dengan Dewi Laksmi, putri sulung Dharmawangsa. Sri Dharmawangsa dan permaisuri gugur. Sementara dalam kawalan Narottama, Erlangga dan permaisurinya berhasil mengungsi ke barat, menuju sebuah asrama Pandita di Wanagiri, tepatnya di desa Cane. Beberapa bulan kemudian Erlangga dan Narottama menuju desa Terep di kaki gunung Penanggungan, berlindung dan berguru pada pandita wibawa penganut agama Siwa. Erlangga menyunting putri sulung pandita Wibawa sebagai istri selir.
Ketika Medang i Bhumi Watan runtuh, beberapa kerajaan bawahannya seperti Wengker, Hasin, Wuratan, Lewa, dan Lodoyong memerdekakan diri. Lodoyong berdaulat di selatan sungai Brantas, mulai dari alas Lodaya di timur, hingga daerah Kamulan Parahyangan di kaki gunung Wilis, batas Hasin.
Pada sekitar 1009M, datang para pandita dan kesatria ke Terep, menemui Erlangga, meminta supaya menjayakan kembali kerajaan Medang. Erlangga menyanggupinya. Maka perlahan Medang berkumandang di kaki gunung Penanggungan, menaklukkan desa-desa kecil dan kerajaan-kerajaan di sekitar Penanggungan, sambil mulai membangun istana baru di Watan Mas, di kaki gunung Penanggungan.
Ketika pada 1025M Sriwijaya ditaklukan Colamandala dari India, Erlangga leluasa melebarkan sayap kekuasaannya. Mpu Narottama menyarankan supaya tidak tergesa menggempur Lodoyong Tulungagung yang pada waktu itu memiliki balatentara ngedab-edabi. Maka untuk sementara balatentara Medang menaklukan Lewa, Wuratan, dan Hasin. Penaklukan Erlangga atas kerajaan Hasin di baratdaya gunung Wilis menerbitkan prasasti Baru bertarikh 1030M. Isi prasasti itu adalah pemberian anugerah perdikan kepada Desa Baru yang telah membantu Erlangga ketika menggempur Hasin.
Sekarang Desa Baru bernama Baruharjo, di kecamatan Durenan, Trenggalek, berbatasan langsung dengan kabupaten Tulungagung. Sekarang prasasti Baru yang berbentuk lempengan tembaga berada di Surabaya. Sebelum menjadi bagian wilayah kabupaten Trenggalek, atau sebelum tahun 1950M, Desa Baru dan kecamatan Durenan masuk wilayah Tulungagung. Dapat dikatakan bahwa pada masa itu, tidak semua daerah di brang kidul melawan Erlangga, salah satunya daerah Baru. Dengan tercantumnya nama Baru pada prasasti, dapat pula dikatakan bahwa Tulungagung kembali menorehkan sejarah, kembali memberikan pertolongan agung pada seorang raja.
Mendengar pasukan Erlangga menaklukkan Hasin, Ratu Tulodong tidak tinggal diam, menderapkan pasukan perempuannya. Setelah menyeberang Brantas, pasukan besar Ratu Dyah Tulodong berderap ke utara membelah lembah tumur gunung Kawi, menuju lereng Penanggungan atau gunung Arjuna, menuju istana Erlangga di Watanmas. Pasukan Erlangga terpukul mundur ke utara, hingga kemudian bertahan di sebuah tempat bernama Patakan.
Peristiwa sejarah ini seolah tenggelam oleh kebesaran nama Erlangga. Kejayaan tokoh perempuan perkasa dari brang kidul pada sekitar tahun 1031M, tenggelam oleh keperkasaan kaum lelaki. Sementara sesungguhnya peristiwa itu termuat dalam Prasasti Terep: “…Cri maharaja katalayah sangke wwatan mas mara i patakan”. Meski dalam Prasasti Terep tidak menyebut nama perempuan perkasa yang berhasil mengalahkan Erlangga, dari penafsiran prasasti Terep dan Pucangan menyimpulkan bahwa sang penakluk itu adalah Ratu Dyah Tulodong, penguasa kerajaan Lodoyong yang berpusat di selatan sungai Brantas.
Prasasti Terep dan Prasasti Pucangan menulis bahwa ratu itu bertubuh serupa raksasa dengan kekuatan melebihi manusia biasa. Banyak ahli sejarah terkecoh dengan berita itu. Ungkapan itu adalah simbolisasi bahwa perempuan penakluk dari daerah selatan itu memiliki kekuatan luar biasa serupa raksasa atau melebihi kekuatan orang biasa, bukan bentuk tubuh ratu itu mengerikan serupa raksasi atau raksasa perempuan. Tentunya penulis Prasasti memiliki alasan mengapa menyebut ratu Tulodong bertubuh serupa raksasa. Prasasti yang tulisannya berbentuk kidung ini memang bertujuan untuk memuji sosok Erlangga sebagai maharaja titisan Wisnu. Sementara Ratu Tulodong adalah pemuja Durga. Dalam pemahaman ajaran Trimurti, Batara Durga merupakan salah satu sakti atau istri Dewa Siwa. Di selatan sungai Brantas atau di sekitar Sumberjati, banyak ditemukan arca Dewi Durga dan arca Ganeca serta arca berwujud katak. Arca-arca itu banyak dimiliki oleh para pemuja Dewi Durga. Kelak Ratu Tulodong menjadi sosok yang menyebabkan tidak sempurnanya tugas Mpu Bharada ketika membelah kerajaan Erlangga.
Tetapi Erlangga adalah titisan Wisnu yang tidak pernah berhenti berjuang menciptakan ketentraman tanah Jawa. Prasasti Pucangan menggambarkan Erlangga sebagai pemeluk agama Wisnu yang tawakal dan teguh. Bahwa selama tinggal di asrama, para pandita memberitakan jika Erlangga titisan Wisnu yang masih harus menyelesaikan tugasnya menyelamatkan dunia dari ancaman bahaya. Dewa Wisnu tidak pernah gagal menunaikan tugas. Erlangga percaya dan itu semakin menambah keteguhan hati merebut kembali kerajaannya yang telah diduduki musuh.
Maka Erlangga segera mengumpulkan kekuatan, merencanakan serangan balasan. Sampai kemudian di penghujung 1032M, hari pembalasan tiba. Sri Maharaja Erlangga, Mpu Narottama, Mpu Niti, dan Mapanji Tumanggala memimpin pasukan gabungan berderap menuju selatan. Setelah mengepung gunung Cemenung, pusat kekuatan Lodoyong, Erlangga berhasil menekuk ratu Tulodong. Lodoyong jatuh.
Tetapi Ratu Tulodong mendapat pengampunan Erlangga, tetap memimpin Lodoyong sebagai bawahan Medang, sebagai salah satu senapati kerajaan, bahkan mendapat gelar Rake Halu Dyah Tumabong. Adanya gelar Rake Halu, apakah itu berarti bahwa penguasa Lodoyong disunting salah seorang anggota keluarga istana? Menjadi permaisuri Mapanji Tumanggala, adik ipar Erlangga? Belum pasti benar. Yang dapat dipastikan dari pembacaan prasasti Pucangan bait 28 adalah ketika pasukan Erlangga menggulung Wurawari, kekuatan Lodoyong termasuk dalam pasukan penggulung itu. Demikian pula ketika Erlangga menghantam Wengker, Lodoyong turut serta.
Prasasti Pucangan menceritakan, setelah menundukkan Lodoyong dibrang kidul, balatentara Medang tidak langsung berderap ke Wengker, melainkan menyerbu Lwaram. Pasukan gabungan Medang dan Lodoyong merajalela di Lwaram. Raja Wurawari tamat riwayatnya. Kemudian Erlangga meninggalkan Patakan dan membangun ibukota baru di Kahuripan. Setelah Desa Terep ditetapkan sebagai daerah sima, balatentara Medang berderap menggempur Wengker. Prasasti Pucangan Bait 26, 27, 28 menulis penaklukan Erlangga atas Lodoyong pada 1032M yang dilanjutkan menyerbu Wengker pada 1035M. ”Maka terdapatlah di dalam negeri seorang perempuan yang memiliki tenaga perkasa, serupa seorang raksasi. Dengan tak gentar apa-apa, pergilah beliau memasuki daerah yang hampir tak dapat dimasuki itu. Peristiwa itu terjadi pada tahun saka 954, pada waktu itulah raja mendapat kenamaan lantaran menaklukan dan membakar Jawa bagian selatan, bagai seekor naga api dengan lidahnya, menjilat kekiri kekanan, maka dinyatakanlah dengan tegas daerah selatan yang paling mengerikan itu sebagai daerah taklukan. Setelah mendapat banyak harta rampasan yang kemudian dihadiahkan kepada para hambanya, maka kemasyuran yang diraih sang raja, setara para brahmana dan petapa. Terdorong keinginan mencari nama, maka pergilah beliau sesudah itu menuju ke Barat, dalam tahun 957 Saka tanggal 13 paroterang, bulan Badrapada, pada hari baik-baik, hari Rabu, membawa balatentara yang tak terhitung banyaknya lengkap dengan prajurit bertenaga kuat dan yang ingin berperang [pasukan Lodoyong]. Dengan tepuk gemuruh dunia, beliau berhasil memetik kemenangan mengalahkan raja bernama Wijaya —raja Wengker Wijayawarman.”
Setelah menaklukkan Lodoyong, Wura-Wari, juga Wengker, Erlangga dapat dikatakan berhasil menjadi seorang maharaja Medang. Jawatimur dan Jawatengah berada dalam kekuasaannya. Meski berhasil merebutnya kembali istana Watanmas, Erlangga tidak menempatinya lagi, melainkan membangun keraton baru bernama Kahuripan.
Beberapa bulan setelah mengeluarkan prasasti Pucangan, Erlangga meninggalkan Kahuripan menuju Daha. Dan setahun kemudian, Erlangga menghadapi persoalan besar, perebutan takhta antara kedua putranya, Mahamentri i Hino Sri Samarawijaya dengan Mahamentri i Sirikan Mapanji Garasakan. Sampai kemudian untuk memecahkan persoalan, Sri Erlangga memutuskan membelah negara demi kedua puteranya. Erlangga menyerahkan sepenuhnya pada Mpu Bharada.
Pembelahan kerajaan Erlangga yang disimbolkan dengan kisah pengucuran air kendi Mpu Bharada selain tercantum dalam Prasasti Mahaksobhya yang dikeluarkan Sri Kertanagara, juga termuat dalam kakawin Negarakertagama pupuh 68, yang ditulis Prapanca pada tahun 1365M. Sebelumnya atau dalam pupuh 67 kakawin Negarakertagama karya Dang Acarya Samantabhadra alias Prapanca menulis pesta srada yang diselenggarakan keraton Majapahit serba meriah dan hikmat penuh penghormatan kepada mendiang Sang Rajapatni Dyah Gayatri. Perayaan yang membikin girang jiwa sri Rajapadni yang sudah mangkat. Semoga arwah Sang Rajapatni melimpahkan berkat kepada Sri Nata Rajasanagara supaya tetap jaya menghadapi para musuh selama masih ada bulan dan surya. Lodang lega rasa Baginda Prabu Rajasanagara menyaksikan perayaan berlangsung lancar tiada halangan. Tinggal menunggu karya yang belum rampung yaitu menyempurnakan candi makam Sri Rajapatni Dyah Gayatri di Kamal Pandak.
“Inilah sejarah Kamal Pandak menurut tutur yang dapat dipercaya,” tulis Prapanca dalam pupuh 68 Negarakertagama. “Suatu ketika Sri Nata Panjalu Daha Maharaja Erlangga berkehendak membelah tanah Jawa lantaran cinta pada kedua putranya. Tersebutlah seorang pendeta Boddha Mahayana yang putus dalam kitab tantra dan yoga, bermukim di tengah kuburan Lemah Tulis, sosok yang senantiasa menjadi pelindung rakyat, ketika mengunjungi pulau Bali hanya berjalan kaki, tenang menapak permukaan lautan. Mpu Bharada namanya, sosok yang paham tiga jaman. Girang beliau menyambut permohonan Maharaja Erlangga supaya membelah Negara. Maka perbatasan Negara ditandai dengan air kendi yang mancur dari angkasa. Dari barat ke timur sampai lautan. Lalu dari utara ke selatan. Daerah selatan yang jaraknya tidak begitu jauh bagaikan terpisah samudera besar. Di daerah selatan itu sang pendeta turun dari angkasa, berhenti di atas pohon Kamal, berniat menaruh kendi suci di Desa Palungan untuk mengakhiri penentuan garis batas kerajaan. Tetapi sebelum menginjak tanah, sang pendeta murka lantaran jubahnya terkait puncak pohon kamal yang tumbuh menjulang tinggi. Mpu Barada terbang ke angkasa lagi lalu mengutuk pohon Kamal menjadi pandak atau kerdil. Itulah tugu batas gaib yang tidak boleh dimasuki kekuasaan Panjalu dan Janggala. Itulah sebab mengapa sekarang dibangun candi. Tujuannya supaya menyatukan tanah Jawa kembali. Dengan demikian semoga baginda prabu serta rakyat tetap tegak, teguh, waspada, Berjaya memimpin Negara yang kini sudah kembali bersatu-padu”.
Dalam pupuh selanjutnya Prapanca menyebutkan candi yang dibangun di Kamal Pandak bernama candi Prajnaparamitapuri atau candi Wisesapura, candi makam bagi Sang Rajapatni Dyah Gayatri. Candi makam di Bayalangu ini kesohor sebagai tempat keramat, tiap bulan badrapada disekar para pembesar kerajaan dan para pendeta.
Ketika membaca beberapa hasil karya sastra para pujangga Jawa baik tulisan maupun lisan, seyogyanya harus memahami watak asli tersebut. Peristiwa sejarah yang benar-benar terjadi kerap kemudian kelihatan seperti dongengan tidak masuk akal lantaran sudah banyak dibumbui perkara-perkara gaib, bertujuan meluhurkan para tokoh yang diceritakan. Dongeng tersangkutnya jubah Mpu Barada pada pohon asem alas atau pohon kamal mengandung arti Mpu Barada mendapat rintangan besar ketika melakukan pembelahan Negara, sehingga tugasnya tidak sempurna. Ada sebuah daerah yang tidak berhasil dijangkau atau tidak mau tunduk pada kekuasaan Panjalu maupun Janggala. Karena itu Mpu Barada yang hampir selesai menentukan daerah-daerah mana saja yang masuk kekuasaan Panjalu dan daerah-daerah mana yang masuk wilayah Janggala, menjadi murka pada penolakan penguasa daerah brang kidul yang ingin merdeka. Padahal daerah itu digolongkan sebagai daerah berkedudukan lebih rendah dari daerah sekitar —dilambangkan sebagai daerah palungan atau cekungan. Di sini maksud daerah palungan sesungguhnya daerah yang memiliki derajat lebih rendah ketimbang Panjalu dan Janggala. Daerah itu memutuskan berdiri sendiri, serupa berdiri tinggi menjulangnya pohon kamal di tanah cekungan melebihi ketinggian pohon-pohon lain di tanah lebih tinggi. Daerah palungan melawan kekuatan atau kehendak Mpu Barada. Tetapi Mpu Barada tidak sanggup menaklukkan brang kidul. Meski demikian perselisihan dapat diselesaikan dengan kesepakatan dua belah pihak, bahwa sejak saat itu brang kidul menjadi daerah merdeka, dengan syarat harus menghormati kekuasaan Panjalu dan Janggala. Sang pandita mengabarkan kemerdekaan brang kidul ibarat tugu gaib ujung batas sebelah selatan yang tidak boleh dilintasi Panjalu dan Janggala. Kutukan Mpu Barada kepada pohon kamal supaya berubah kecil atau pandak mengandung makna supaya ketinggian dan kekokohan brang kidul mengecil lalu lenyap sehingga yang berkuasa di tanah Jawa hanya Panjalu dan Janggala, kerajaan yang dibangun Maharaja Erlangga.
Demikianlah, pembelahan negara yang dilakukan Mpu Barada berjalan kurang sempurna. Ada satu daerah di selatan sungai Brantas yang berdiri sendiri, tidak termasuk bagian Panjalu yang dipimpin Samarawijaya, maupun Janggala yang dirajai Mapanji Garasakan. Daerah merdeka itu adalah Lodoyong atau sekarang menjadi Tulungagung.
Setelah Panjalu dan Janggala terbentuk, pada 24 Nopember 1042M, Erlangga meninggalkan keraton Daha, menjadi pandita dan berganti nama Resi Aji Paduka Mpungku Sang Pinaka Catraning Bhuwana.
Tulungagung pada masa Panjalu dan Janggala
Akan tetapi pembelahan kerajaan Erlangga justru menimbulkan sikap saling menaklukkan antara Panjalu dan Janggala. Masing-masing berkeinginan menjadi penguasa tunggal di tanah Jawa. Pada awalnya Jenggala unggul. Yang berkuasa di Jenggala setelah masa Erlangga adalah Sri Maharaja Mapanji Garasakan, Sri Maharaja Mapanji Alanjung Ahyes dan. Sri Maharaja Rake Halu Pu Juru Samarotsaha. Sementara di Panjalu antara lain Sri Samarawijaya, Sri Jayawarsa Digjaya Sastraprabhu, Sri Bameswara Sakalabhuwana, dan Sri Maharaja Sang Mapanji Jayabhaya. Pada masa Sri Jayabaya, dengan semboyan Panjalu Jayati alias Panjalu Menang, Panjalu unggul atas Jenggala. Berita kemenangan besar itu diceritakan dalam prasasti Ngantang.
Akan tetapi setelah Jayabaya wafat akibat pemberontakan Rake Sirikan Sri Sarweswara, tanah Jawa yang sebelumnya sempat bersatu, kembali bergolak, Panjalu dan Jenggala kembali berseteru. Kemelut perebutan tahta di Panjalu membikin keturunan Jenggala tergugah bangkit melepaskan diri dari kekuasaan Panjalu. Janggala memusatkan kekuatannya di timur gunung Kawi, Kutaraja.
Sri Jayabhaya memiliki dua putra, Sri Aryeswara dan Sri Sarweswara. Pada waktu Sri Jayabhaya bertahta, Sri Aryeswara menjabat sebagai mahamentri I hino, sementara Sri Sarweswara menjabat sebagai mahamentri I Sirikan. Keduanya termasuk kelompok mahamentri Katrini. Dalam kelompok ini, yang berposisi tertinggi adalah Rake Hino. Akan tetapi setelah Sri Jayabhaya wafat, Rake Sirikan Sri Sarweswara naik tahta secara tidak sah. Sampai kemudian pada 23 Maret 1171M, berdasarkan prasasti Sapu Angin, yang menjadi raja Panjalu adalah Sri Maharaja Rake Hino Sri Aryeswara setelah merebut tahta dari Sri Sarweswara.
Prasasti Sapu Angin ditemukan di Desa Geger, Penampihan, Tulungagung. Berisi anugerah sima perdikan dari raja Panjalu Sri Aryeswara kepada desa Sapu Angin. Dengan demikian, pada kurun ini, salah satu daerah di Tulungagung tercatat dalam prasasti. Kiranya prasasti itu dikeluarkan setelah para penduduk Sapu Angin membantu raja, memberikan pertolongan agung merebut tahta dari raja Sarweswara.
Sri Aryeswara menurunkan Sri Kroncaryadhipa, sementara Sri Sarweswara menurunkan Sri Kameswara dan Sri Kertajaya. Setelah Sri Aryeswara wafat, yang menjadi raja Panjalu adalah Sri Kroncaryadhipa. Pada 19 Nopember 1181M, Sri Kroncaryadhipa mengeluarkan prasasti Jaring dan mengambil gelar abhiseka Sri Maharaja Sri Kroncaryadipa Bhuwanapalaka Parakrama Anindita Digjaya Uttunggadewa Sri Gandra. Putra Sri Aryeswara ini hanya bertahta sekitar 4 tahun karena pada 11 September 1185M, berdasarkan prasasti Ceker, digantikan putra sulung Sri Sarweswara yaitu Sri Maharaja Sri Kameswara Triwikramawatara Aniwariwirya Parakrama Digjaya Uttunggadewa.
Kameswara disebut dalam kakawin Smaradahana disetarakan sebagai Dewa Kama, berpermaisuri Sasi Kirana, putri raja Jenggala. Dapat dikatakan pada 1185M terjadi rekonsiliasi antara Panjalu dengan Jenggala. Itu dibuktikan dengan berita perkawinan antara raja Panjalu Kameswara dengan putri Jenggala Sasi Kirana. Pernikahan itu sama artinya dengan upaya perdamaian. Hanya dalam berita babad Tanah Jawa dan beberapa karya sastra Jawakuna, Sri Kameswara disebut raja Jenggala dan dikenal pula sebagai Panji Asmarabangun, sementara Sasi Kirana disebut sebagai candra Kirana, putri raja Panjalu. Berita dalam cerita babad ini bertentangan dengan catatan prasasti maupun Kitab Smaradahana yang ditulis Mpu Dharmaja pada masa pemerintahan Sri Kameswara. Tetapi kisah percintaan antara Panji Asmarabangun dengan Candra Kirana, putri raja Panjalu, bahkan menjadi inspirasi cerita panji.
Meski demikian pernikahan itu tidak mampu menyetop permusuhan Panjalu dengan Jenggala, terbukti ketika Sri Kertajaya naik tahta menggantikan Sri Kameswara, peperangan kembali pecah. Sri Kertajaya adik Sri Kameswara. Ketika Sri Kameswara wafat, seharusnya yang mendaki tahta di Daha adalah putra Sri Kameswara dari Sasi Kirana. Cucu raja Jenggala yang berhak naik tahta Panjalu Daha, bukannya Sri Kertajaya. Inilah yang membikin pihak Jenggala di Kutaraja kecewa lalu menggempur Daha, karena menganggap Sri Kertajaya membuka kembali pintu permusuhan. Raja Jenggala yang menggempur Panjalu Daha adalah Sri Maharaja Girindra, ayah Sasi Kirana. Raja Jenggala ini disebut pula sebagai Sang Girinata, raja yang menganut agama Siwa. Girindra maupun Girinata artinya raja gunung, sebutan lain bagi Dewa Siwa. Selain memiliki putri bernama Sasi Kirana, Sri Maharaja Girindra juga memiliki putra dari istri selir yang dikenal Pararaton sebagai Ken Arok.
Panjalu Daha terdesak dan Senapati Tunggul Ametung mengungsikan sang raja menuju Katang-Katang atau Kalangbrat, Tulungagung, tanah kelahiran sang senapati. Pecahnya peperangan itu termuat dalam Prasasti Kamulan bertarikh 31 Agustus 1194M. Disebutkan dalam prasasti bahwa Raja Kertajaya tersingkir dari istana Daha akibat serbuan musuh dari arah timur —penyerbuan itu terjadi sekitar lima bulan sebelum keluarnya Prasasti Kamulan. Prasasti Kamulan menulis tersingkirnya Sri Kertajaya dari istana Daha menuju Katang-Katang, Kalangbrat, Kamulan: “…lagi kilala mwang kalasana decanya padapuran Cri maharaja tatkala kentar sangke kadatwan ring Katang-Katang, deninkin malr yatik kaprabhun Cri maharaja siniwi ring bhumi Kadiri…”.
Inilah saat dimana tokoh dari Katandan, Kalangbrat, Tulungagung, berperan besar menjelang berdirinya negara kesatuan Tumapel atau Singasari. Dari sini pula kelak lahir tokoh-tokoh besar seperti Anusapati, Mahisa Wonga Teleng, Kertanagara, Raden Wijaya, Gayatri, Baginda Kertawardhana, yang kelak bersemayam di Banarawa atau Tulungagung. Mengapa sebagian besar tokoh-tokoh itu ke brang kidul, sejatinya karena ingin kembali ke tanah leluhur mereka. Tidak berlebihan jika menyebut Tulungagung adalah tanah leluhur raja-raja Singasari dan Majapahit! Kiranya akan menjadi kajian menarik. Apalagi mengetahui bahwa kelak, Sri Kertanagara memiliki hubungan khusus dengan tokoh kelahiran Penampihan. Bukan tidak mungkin permaisuri Kertanagara yaitu Sri Bajradewi kelahiran Penampihan, putri Sang Hyang Sarwwa Dharma, sebagaimana terbaca dalam prasasti Penampihan II bertarikh 1269, prasasti yang ternyata menjadi landasan penentuan hari jadi Kabupaten Sumenep, lantaran tercantum nama Arya Ardharaja sebagai adipati Sumenep. Kembali ke peristiwa tergusurnya Sri Kertajaya yang diungsikan Senapati Tunggul Ametung.
Selama dalam pengungsian, Sri Kertajaya menjadikan daerah Kalangbrat sebagai keraton sementara Panjalu. Bersama sisa pasukan dan para pendeta serta segenap penduduk Kamulan, Senopati Tunggul Ametung giat menggalang kekuatan merencanakan serangan balik. Maka setelah kekuatan terbangun kokoh, dengan semangat memberi pertolongan agung kepada Sri Maharaja Kertajaya, Senapati Tunggul Ametung menderapkan pasukannya ke timur dan berhasil menaklukkan kerajaan yang menganut agama Siwa di timur gunung Kawi itu. Raja Jenggala Sang Girinata tersingkir dari Kutaraja bersama sisa pengikutnya.
Sri Kertajaya kembali ke keraton Daha, meneruskan kepemimpinannya sebagai Maharaja Panjalu, berupaya mengembalikan ketentraman dan ketertiban negara. Kebijakan penting pertama yaitu menetapkan daerah bekas pusat pemerintahan Janggala di Kutaraja sebagai kadipaten amancanagara Tumapel. Ibukota Tumapel tetap di Kutaraja. Senapati Tunggul Ametung sebagai penguasa pertama Tumapel. Kebijakan raja ini sebagai penghargaan pada Tunggul Ametung, tokoh kelahiran Kalangbrat, Tulungagung, yang secara gemilang menunaikan tugas negara, mengembalikan tahta Raja. Raja Kertajaya juga menetapkan daerah Kamulan sewilayahnya sebagai daerah perdikan atau swatantra, daerah istimewa yang dibebaskan dari segala pungutan pajak, daerah merdeka berpemerintahan sendiri yang kedudukannya langsung di bawah kekuasaan raja. Penganugerahan itu tertuang dalam piagam kerajaan yang kelak bernama Prasasti Kamulan, 31 Agustus 1194M —tanggal prasasti ini kelak menjadi pedoman hari jadi kabupaten Trenggalek. Pada 20 April 1200M, Sri Kertajaya penganugerahan sima perdikan kepada Desa Panjer, termuat dalam Piagam kerajaan bernama Prasasti Galunggung. Desa panjer sekarang bernama Panjerejo, Rejotangan, Tulungagung.
Pada saat Sri Girindra tersingkir dari istana, Ken Arok berusia sekitar 12 tahun. Setelah dewasa, mengetahui sejarah Jenggala, mengetahui ayahnya tersingkir dari istana akibat serbuan Senapati Agung Tunggul Ametung. Setelah bertemu Pendeta Lohgawe, ia bertekad membalas kekalahan ayahnya.
Maka terdorong keinginan kuat menjadi maharaja di tanah Jawa, setelah segala siasat dirancang matang, Ken Arok segera saja melancarkan aksinya, menyingkirkan batu sandungan pertama, memusnahkan pemegang kekuasaan di Tumapel, Adipati Tunggul Ametung. Ken Arok mulai memimpin Tumapel pada usia 21 tahun. Usia yang mengandung semangat besar menggelora. Usia yang dipenuhi sikap berani menerjang segala apa. Ken Arok adalah penguasa muda yang sedang bercita-cita membangkitkan kembali Jenggala dari puing-puing keruntuhan. Pada awalnya masih berposisi sebagai penguasa kadipaten Tumapel, tetapi kemudian setelah cukup dukungan dari para pengikut maupun para pandita Siwa dan Boddha, pada awal tahun 1205M, Ken Arok memisahkan diri dari Panjalu, menjadi penguasa Tumapel yang merdeka dan mengambil gelar abhiseka Sri Ranggah Rajasa Sang Amurwabhumi.
Beberapa bulan kemudian, atau pada pertengahan tahun 1205M, Ranggah Rajasa mengadakan serangan pertama ke Panjalu. Raja Kertajaya terpaksa menyingkir ke selatan Brantas dan mendapat perlindungan seluruh penduduk desa Lawadan di selatan Wajak. Sampai akhirnya Sri Kertajaya berhasil menduduki singgasana di istana Daha setelah penduduk Lawadan memukul pasukan Ranggah Rajasa. Sebagai balas jasa atas segala pertolongan agung itu, Raja Kertajaya menganugerahi Lawadan sebagai daerah sima perdikan kerajaan. Prasasti tertanggal 18 Nopember 1205M itu, sejak 2003M menjadi dasar penentuan hari jadi Kabupaten Tulungagung.
Meski serbuan pertama gagal menjungkalkan raja Kertajaya, Ranggah Rajasa tidak menghentikan upayanya menaklukkan Panjalu. Tumapel mengokohkan kekuatan di timur gunung Kawi, menaklukkan beberapa kerajaan yang dulu pernah menjadi bawahan Jenggala, seperti Lumajang, Lewa, Hering atau Pamotan, dan Madura. Satu-satu kerajaan-kerajaan kecil itu berhasil ditaklukkan Ranggah Rajasa, diseret dalam naungan kekuasaan Tumapel.
Hingga kemudian pasukan Siwa dan Boddha pimpinan Ranggah Rajasa Sang Amurwabhumi bergerak bagai banjir bandang melintasi pegunungan Kawi, menyeberangi sungai Leksa, berderap di utara sungai Brantas, dan di padang Ganter atau Nganteru, di selatan ibukota Daha, bertemu pasukan Panjalu yang menganut Wisnu. Pasukan besar Tumapel mendesak mundur kekuatan Panjalu. Istana Daha jatuh ke tangan Ranggah Rajasa sang putra Girinata. Raja Kertajaya beserta beberapa anggota keluarga dan sisa pengikutnya menyingkir ke Kamulan, tempat parahiyangan atau pertapaan di lereng gunung Wilis. Maka sejak 1222M, Panjalu menjadi bagian Tumapel.
Tulungagung pada masa Tumapel atau Singasari
Setelah Ranggah Rajasa wafat, Tumapel pecah menjadi Panjalu dan Jenggala. Panjalu ditempati Mahisa Wonga Teleng dan Jenggala ditempati Anusapati. Anusapati dan Mahisa Wonga Teleng hidup rukun memimpin kerajaannya masing-masing, tanpa keinginan menaklukkan satu sama lain. Keadaan tenteram tersebut tidak lepas dari peran sang ibu suri Ken Dedes. Bagaimanapun, Anusapati dan Mahisa Wonga Teleng adalah putra kandung Ken Dedes. Untuk lebih menguatkan hubungan kekeluargaan, pada sekitar 1240M, Ken Dedes meminta kedua putranya berbesanan. Pada waktu itu Anusapati memiliki putra bernama Seminingrat dan putri bernama Seruni. Sementara Mahisa Wonga Teleng menurunkan Waning Hyun dan Mahisa Cempaka. Setelah menyetujui kehendak ibunya, Anusapati dan Mahisa Wonga Teleng menikahkan Waning Hyun dengan Seminingrat, dan perkawinan ini menurunkan Kertanagara, Turukbali, dan Cakreswara —Cakreswara menurunkan Cakradara alias Baginda Kertawardhana, ayah Raja Majapahit Hayam Wuruk. Setelah wafat, Baginda Kertawardhana didarmakan di Waringin Pitu, Tulungagung.
Peran Tulungagung pada masa Tumapel atau Singasari, terutama sebagai daerah leluhur Singasari yang dihormati pihak keraton, utamanya keturunan Ken Dedes, baik dari Ken Arok maupun Tunggul Ametung. Berdasarkan pembacaan prasasti Mula Malurung, Tunggul Ametung didarmakan di Pager atau Pagerwojo, dengan candi bernama Narasingajaya. Kemudian Mahisa Wonga Teleng, setelah wafat didarmakan di Kalangbrat. Berdasarkan pembacaan serat Pararaton, Tohjaya, raja Daha, putra Ken Arok dari Ken Umang, didarmakan di Katang Lumbang, daerah Kalangbrat.
Setelah menjadi raja Singasari, Kertanagara juga memiliki hubungan batin sangat erat dengan tokoh Penampihan, Sang Hyang Sarwwa Dharma. Tokoh ini yang pada 1269M mendapat anugerah sima perdikan dari Sri Kertanagara, tercatat dalam prasasti Penampihan II. Dalam prasasti ini menyebutkan daerah Penampihan yang dikuasai Sang Hyang Sarwwa Dharma, tidak lagi menjadi bagian wilayah Lawadan.
Tulungagung pada masa Majapahit
Kertanegara dan permaisuri Bajradewi memiliki enam putri. Empat disunting Raden Wijaya yaitu Tribhuwaneswari, Narendraduhita, Jayendradewi dan Gayatri. Seorang diistri Ardharaja dan seorang lagi menjadi permaisuri raja Cempa Singhawarman. Setelah Majapahit berdiri, putra Cakreswara yang bernama Cakradara atau Baginda Kertawardhana menikahi putri sulung Dyah Gayatri bernama Dyah Gitarja.
Nama-nama daerah di Tulungagung pada masa Majapahit ditemukan dalam beberapa sumber sejarah diantaranya kakawin Decawarnana, prasasti Trawulan I, dan prasasti Waringin Pitu. Dalam kakawin Decawarnanna, tercantum nama Bhayalangu dan Kalangbrat. Dua nama ini menempati kedudukan terhormat sebagai daerah suci, tempat pendarmaan keluarga raja. Pada prasasti Trawulan bertarikh 1358M, yang berisi peraturan hukum penyeberangan sungai, tercantum nama Waringin Pitu dan Madanten atau Majan. Dalam prasasti Waringin Pitu bertarikh 1447M tercantum nama-nama seperti Kepuh, Pakambingan Sumbergempol, dan nama Bhayalangu serta Waringin Pitu.
Pendiri Majapahit, Raden Wijaya, didarmakan di Simping sebagai Siwa dengan arca harihara. Sekarang Simping termasuk wilayah Blitar. Tetapi pada masalalu merupakan wilayah brang kidul atau Tulungagung. Pendiri Majapahit didarmakan di Tulungagung bukan tanpa alasan. Tanah Banarawa ini merupakan tanah leluhur raja-raja Singhasari. Sehingga kemudian sang Ratu Gayatri juga membangun pusat kekuasaan di daerah Junjung, dan setelah wafat didarmakan di Bhayalangu, di daerah kelahiran kakek moyangnya, Tunggul Ametung. Sangat jelas dinyatakan dalam kakawin Decawarnana bahwa Bhayalangu merupakan tempat suci yang menduduki posisi terhormat di mata Majapahit.
Yang mencengangkan berita pada prasasti Waringin Pitu bertarikh 1447M yang dikeluarkan Baginda Prabhu Kertawijaya, raja Majapahit ketujuh. Dalam prasasti ini tertulis nama Mahapatih Gajah Geger. Tokoh ini memang berasal dari Desa Geger Penampihan, Tulungagung. Prasasti ini berisi penetapan anugerah sima perdikan kerajaan kepada Waringin Pitu, tempat pendarmaan Batara Parameswara atau Baginda Kertawardhana, ayahanda Sri Hayam Wuruk.
Sumber : kompasiana.com
Comments
Post a Comment