Mesir merupakan salah satu negara yang paling sering dikunjungi Soekarno, tercatat sebanyak enam kali Presiden Pertama Indonesia ini melakukan kunjungan resmi kenegaraan. Puncak kemesraan hubungan bilateral Indonesia – Mesir terjalin ketika Mesir dipimpin oleh Gammal Abdul Nasser. Selain itu, peran keduanya sebagai pemrakarsa Konferensi Asia – Afrika, membuat nama Presiden Soekarno begitu harum di mata pemerintah dan rakyat Mesir, hingga namanya diabadikan sebagai nama jalan di Mesir.
Soekarno dikenal di Mesir dengan nama Ahmad Soekarno. Penambahan nama “Ahmad” dilakukan oleh mahasiswa-mahasiswa Indonesia di Mesir untuk memperkuat nuansa keislaman sehingga menarik perhatian masyarakat Mesir bahwa Presiden Indonesia beragama Islam, seragam dengan nama Wakil Presiden yang diawali nama Mohammad.
Ketika Bung Karno wafat pada 21 Juni 1970, Presiden Gamal Abdel Nasser menyatakan Mesir berkabung dengan menaikkan bendera setengah tiang di kantor-kantor pemerintah. Presiden Nasser juga menggirimkan kawat belasungkawa kepada Presiden Soeharto atas wafatnya Bung Karno, tulis koran Al Ahram, 22 Juni 1970. Hanya tiga bulan setelah Bung Karno wafat, Presiden Nasser juga menyusul kembali ke Sang Khalik pada 28 September 1970.
Rencana Penutupan Al-Azhar
Berdiri sejak 969 M, bangunan universitas ini berhubungan dengan Masjid Al- Azhar di wilayah Kairo Kuno. Sebutan Al Azhar diambil dari nama Fatimah Az-Zahra, putri kesayangan Nabi Muhammad. Sumber lain menyatakan bahwa pada bulan Ramadan 350 Hijriah (Oktober 975 M), secara resmi proses belajar mengajar di Al Azhar dimulai. Universitas ini dibangun pada masa pemerintahan Dinasti Fatimiyah.
Kisah tentang “jasa” Soekarno terhadap salah satu Universitas Islam tertua di dunia ini pertama kali terungkap dalam acara talkshow “Wallahu’alam” di kanal CBC 2, Agustus, tahun 2014. Adalah Syeikh Ali Jum’ah, anggota Hai’ah Kibar Ulama (suatu badan khusus di Al Azhar beranggotakan para ulama senior yang sangat berpengaruh) yang juga mantan mufti Mesir, yang menjelaskan bahwa hubungan antara Seokarno dan Gamal Abdul Nasser sangat erat, keduanya merupakan sahabat karib. Hingga suatu saat Gamal Abdul Naser mengutarakan keingininannya untuk menutup Al Azhar. Ancaman penutupan itu akibat Nasser melihat gelagat kalangan ulama Al Azhar yang ingin bergabung dengan Ikhwanul Muslimin untuk merongrong kekuasaannya.
“Ahmad Soekarno menanggapi, apakah engkau bakal menghapus Nil? Apakah engkau bakal menghapus piramid? Kita tidak mengenal kalian sama sekali kecuali dengan Al Azhar!,” ujar Syeikh Ali Jum’ah.
Ternyata usulan Soekarno itu sangat diperhitungkan Presiden Gamal Abdel Nasser, dan rencana penutupan Al Azhar pun akhirnya dibatalkan. Hingga kini, Universitas Al Azhar masih berdiri kokoh dan telah memiliki jutaan mahasiswa.
Mantan Mufti Nasional Mesir tersebut mengamini pandangan Bung Karno bahwa Al Azhar dan Mesir ibarat dua sisi mata uang yang tak bisa dipisahkan, yakni Al Azhar adalah Mesir, dan Mesir adalah Al Azhar.
Peristiwa itu menurut Syeikh Ali Jum’ah terjadi pada tahun 1959. Setelah itu, terbit undang-undang yang pasal utamanya berisi bahwa Al Azhar adalah rujukan keislaman seluruh dunia, bukan hanya sebatas Mesir saja. Universitas Al-Azhar batal ditutup.
Berkat jasa tersebut, Universitas Al Azhar menganugrahkan doktor kehormatan (doktor honoris causa) kepada Bung Karno dalam kunjungan ketiga ke Mesir pada bulan April 1960.
Syiekh Agung Al Azhar Mahmoud Shaltut menyematkan gelar kehormatan akademis itu di gedung pertemuan Universitas Al Azhar pada tanggal 24 April 1960, pukul 12.00 waktu setempat, seperti terekam dalam buku “Jauh di Mata Dekat di Hati: Potret Hubungan Indonesia-Mesir”.
Kisah dari Al Azhar ini merupakan salah satu dari sederet kenangan abadi Sang Proklamator dalam kunjungnnya ke mancanegara.
Sumber:
Comments
Post a Comment